Manajemen Kontruksi VS Sepak Bola

Dalam sebuah tim sepak bola, para pemain memiliki tugas sesuai dengan posisinya. Begitu juga dengan yang ada di dalam suatu tim proyek. Di bagian paling belakang ada seorang kiper yang bertugas menjaga gawang dari ancaman kebobolan. Mirip dengan itu, tim proyek memiliki ‘kiper’ yang bertugas menjaga proyek dari ‘kebobolan’ uang. Kiper itu tentunya adalah bagian keuangan proyek. Di depan kiper ada pemain bertahan yang terdiri dari Central, Left dan Right Defender. Mereka adalah garda belakang yang menjadi tembok dari keganasan para pemain lawan. Dalam tim proyek, tugas ini ada pada bagian Engineering, Document Control, Administrasi dan Procurement. Mereka tak langsung terlibat dalam konstruksi tapi jelas sangat menentukan dalam stage awal sebuah proses konstruksi. Sedikit saja kesalahan mereka bisa berakibat fatal pada cost yang membengkak. Sedikit di depan pemain bertahan, terkadang dipasang 1 atau 2 orang Defensive Midfielder yang bertugas membantu memperkuat barisan tengah, sekaligus menjamin lancarnya suplai bola. Posisi ini agak sama dengan seorang Project Control yang menyediakan berbagai tools untuk membantu Project Manager merasakan aliran perjalanan proyek. Idealnya, dari mereka lah akan terdeteksi berbagai potensi dan gejala awal tidak lancarnya proyek. Seringkali, hasil kerja mereka bisa memecahkan kebuntuan dalam suatu upaya mengoyak kuatnya pertahanan lawan. Di bagian tengah, diisi oleh para Midfielder dan Winger yang seringkali menjadi roh dalam suatu tim sepakbola. Sebagai pengatur aliran bola dan titik sentral permainan, peran mereka langsung berkaitan erat dengan proses proyek dari awal hingga akhir. Dalam tim proyek, tentunya para playmaker dan kawan-kawannya ini diwakili oleh Project Manager, Site Manager, dalam beberapa kasus, Project Engineer. Kehadiran mereka sangat krusial dalam menjaga suatu proyek dari ketika masih dalam perencanaan hingga terwujud dalam hasil akhir yang diharapkan. Posisi terdepan tentunya diisi oleh striker yang secara langsung bertanggung dalam upaya mencetak gol. Misi yang hampir sama diemban oleh para eksekutor lapangan semacam Supervisor, Site Engineer, Safety Engineer dan QA/QC Engineer. Merekalah yang paling diharapkan untuk mengimplementasikan segala tujuan proyek dan men-deliver hasil akhir yang direncanakan. Jika semua komponen itu terjalin dalam suatu team work yang kuat, maka tim proyek itu akan selalu menjadi ‘ancaman bagi tim lawan’. Hanya saja, berbeda dengan permainan sepakbola, tiap ‘gol’ yang dihasilkan oleh tim proyek hampir akan selalu disambut gembira oleh semua orang, termasuk tim lawan sekalipun. ‘Gol, tersebut bisa berupa penyelesaian tepat waktu, laba proyek dan hasil akhir yang bermutu.

Memang dalam kenyataannya, jalannya proyek tak sesederhana itu. Ada begitu banyak masalah yang selalu menghadang. Dinamisasi itulah yang membuat manajemen proyek menjadi suatu proses yang unik. Hampir tak ada proyek yang benar-benar sama dari awal hingga akhirnya. Karena konteksnya bermacam-macam itulah, manajemen proyek seringkali bagai sebuah Total Football. Konfigurasi ‘para pemainnya’ harus selalu berubah menyesuaikan keadaan. Kadangkala, seorang Project Manager sampai harus turun tangan dalam eksekusi proyek ataupun menjadi otak dalam proses engineering. Sebaliknya, engineering terkadang diharapkan menusuk dari sisi kanan-kiri lapangan dan maju membantu serangan. Dalam contoh proyek yang saya pegang, bentuk dan konfigurasi tim benar-benar sangat cair. Seorang Engineer terkadang harus langsung berjibaku untuk menciptakan gol jika ternyata itu dirasa bisa mencegah gawang tim kebobolan.

Tentunya, konfigurasi proyek hampir selalu ditentukan oleh karakter sang playmaker yakni Project Manager. Ada PM yang berlaku seperti tuan tanah dalam dunia feudal. Segala kemauannya tak boleh dibantah dan semua anggota tim harus menyesuaikan ritme permainannya. Sebaliknya, ada juga PM yang begitu percayanya pada anggota timnya hingga dia tinggal bersantai menunggu laporan. PM yang lain mungkin terjebak dalam penyerangan atau pertahanan hingga melupakan salah satu sisi. Akibatnya tim menjadi berat sebelah dan resiko kebobolan jadi membesar. PM yang muda biasanya terjebak dalam kubangan detail hingga akhirnya kehabisan tenaga dan tak melihat gambaran besar proyek. Sementara PM yang sudah sepuh sudah malas mengurusi detail dan menyerahkan sepenuhnya pada sang anak buah.

Dengan posisinya yang begitu sentral, peran aktif seorang PM memang mutlak diperlukan . Tapi itu bukan berarti seorang PM harus keliling lapangan dan mengambil alih peran pertahanan dan penyerangan sekaligus. Idealnya, seorang PM harus menjadi seorang inspirator dan motor permainan yang menggerakkan seluruh anggota tim untuk bergerak, bekerja bersama dan saling mengisi. Untuk itulah diperlukan leadership dan human relationship yang benar-benar baik. Sebagai main tools, seorang PM juga mutlak harus punya controlling skill yang bagus dengan ditunjang oleh pengetahuan basic mengenai keuangan. Seringkali, seorang PM harus juga menguasai aspek perancangan sekaligus metode pelaksanaan di lapangan, lengkap dengan segala pernak-pernik permasalahan di lapangan. Inilah yang membuat jabatan PM baru bisa disandang oleh orang yang benar-benar experience. Jika tidak, akan segera terasa permainan tim mulai timpang dan ‘nggak nyambung’. Anak buahnya pun akan mulai sedikit demi sedikit kehilangan kepercayaan jika sang PM tak mampu membuat keputusan atau memberikan pertimbangan pada mereka. Sebagai penunjang, seorang PM selayaknya punya kemampuan negoisasi yang handal, karena kemampuan inilah yang seringkali menjadi strategi jitu dalam upaya mencetak gol. Sebagai dasarnya, tentu saja PM mesti dibekali dengan pemahaman contracting yang baik. Salah atau kurang hati-hati membaca kontrak akan membawa tim terjerembab dalam berbagai permasalahan. Alat penunjang lainnya mungkin adalam awareness dalam masalah safety yang belakangan menjadi isu yang sangat signifikan.

0 komentar:

Posting Komentar